LANDASAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN INKLUSI



LANDASAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENDIDIKAN INKLUSI

Dosen Pengampu      : Iyan Sofyan S.Pd., M.A




Disusun Oleh :
Rina Andriyani         (1300002057)
Siti Masyithah           (1400002030)
Iwung Tri Astuti       (1400002036)
Risa Nurul Ain          (1400002041)
Novaria K                  (1400002044)



PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
2017



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Anak memiliki karakter yang berbeda-beda, diantara mereka adalah anak-anak yang berkebutuhan khusus, dimana masyarakat umum, atau dalam lingkungan departemen sosial sering kali menyebutkan sebagai penyandang cacat (disability) anak-anak yang memiliki hambatan ini terdapat kebijakan dan wewenang untuk mendapatkan suatu pendidikan yang layak sehingga pada sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak yang berkebutuhan khusus dapat layanan dalam pendidikan formal yang terdekat dikelas biasa bersama teman-teman seusiannya untuk itu perlu adanya restrukturisasi di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus bagi setiap anak.
Prinsip dasar pendidikan inklusi adalah semua anak harus memperoleh kesempatan untuk bersama-sama belajar dan terakomodir kebutuhan-kebutuhannya tanpa ada diskriminasi apapun yang mendasari, sehingga pemerintah sangat berperan penting dalam memenuhi kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus tidak hanya pemerintah tetapi orangtua, guru dan lingkungan masyarakat.
Pendidikan inklusif dianggap sebagai solusi yang tepat dalam memenuhi hak setiap anak dalam mendapatkan pendidikan. Pendidikan ini dimaksudkan sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus. Mereka dapat belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggal mereka. Adanya pendidikan inklusi tersebut diharapkan tidak ada lagi perlakuan diskriminatif dalam layanan pendidikan terutama bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Pendidikan inklusif sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan
agar semua anak berkelainan atau berkebutuhan khusus dilayani di sekolah-sekolah terdekat, sekolah regular yang menyelenggarakan pendidikan inklusif yang juga menerima anak-anak berkebutuhan khusus belum sepenuhnya mampu memberikan layanan khusus yang berbeda bagi anak-anak yang membutuhkan. Hal tersebut mengakibatkan anak-anak berkebutuhan khusus sering diberlakukan sama dengan anak-anak dengan anak-anak reguler lainnya.

B.  Rumusan Masalah
1.        Pengertian Pendidikan Inklusi ?
2.        Landasan Pemerintah Dalam Pendidikan Inklusi ?
3.        Kebijakan Pemerintah Dalam Pendidikan Inklusi ?
























BAB II
PEMBAHASAN

A.  Pendidikan Inklusi
Anak-anak memiliki karakter yang berbeda-beda, diantara mereka adalah anak-anak yang berkebutuhan khusus, dimana masyarakat umum, atau dalam lingkungan departemen sosial sering kali menyebutkan sebagai penyandang cacat (disability) atau memiliki hambatan (handicap). Berdasarkan paparan Smith dalam Suparno (2010:4) sangat berbeda maknanya Disability adalah keadaan aktual fisik, mental, dan emosi. Konsep inklusi lebih menekankan pada upaya pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Pendidikan inklusi menurut Sapon-Shevin dalam Suparno (2010:6) menjelaskan bahwa sebagai sistem layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua anak yang berkebutuhan khusus dapat layanan dalam pendidikan formal yang terdekat dikelas biasa bersama teman-teman seusiannya untuk itu perlu adanya restrukturisasi di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus bagi setiap anak.
Prinsip dasar pendidikan inklusi adalah semua anak harus memperoleh kesempatan untuk bersama-sama belajar dan terakomodir kebutuhan-kebutuhannya tanpa ada diskriminasi apapun yang mendasari. Hal ini berarti sekolah regular atau umum harus dilengkapi sekolah berkebutuhan khusus untuk dapat melihat dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan siswa yang memiliki hambatan termaksud mereka yang secara tradisional telah disingkirkan, baik dari akses sekolah maupun peranserta yang ada di sekolah, sehingga tujuan pendidikan bagi siswa yang memiliki hambatan adalah keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam kehidupan sekolah yang menyeluruh. Inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan interaksi sosial, dan konsep diri.
Pendidikan inklusif dalam Permendiknas nomor 70 tahun 2009 adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Sehingga pendidikan inklusi adalah adanya sebuah layanan yang mampu menaungi atau mewadahi anak-anak yang memiliki hambatan/kekurang secara fisik, mental dan emosi. Dan dapat diselenggarakan pada setiap sekolah karena kebijakan-kebijakan telah ditetapkan oleh pemerintah untuk memberikan layanan khusus sekolah formal seperti ABK.
Pendidikan inklusif memiliki bermacam-macam pemahaman dan interpretasi, serta adanya realitas bahwa selama ini masih terdapat kerancuan pengertian antara pendidikan inklusif  dengan pendidikan khusus bagi penyandang cacat atau dikenal dengan sekolah luar biasa (SLB). Dengan kata lain, istilah pendidikan inklusif masih sering diasumsikan hanya berlaku bagi anak penyandang cacat. Pandangan tersebut masih keliru, karena pendidikan inklusif ditujukan bukan hanya untuk penyandang cacat saja melainkan untuk setiap anak yang memiliki kebutuhan berbeda dalam belajar. Jadi dengan adanya pendidikan inklusif setiap anak dapat memperoleh pendidikan tanpa perlu dibeda-bedakan

B.  Landasan Pemerintah Dalam Pendidikan Inklusi
Di Indonesia telah melaksanakan pendidikan inklusi di sekolah serta memiliki landasan baik filosofi maupun yuridis dan empiris, landasan secara filosofis yaitu :
1.        Pendidikan adalah hak mendasar bagi setiap anak, termaksud anak berkebutuhan khusus
2.        Anak adalah pribadi yang unik yang memiliki karakteristik, minat, kemampuan, dan kebutuhan belajar yang berbeda.
3.        Penyelenggaraan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara orangtua, masyarakat dan pemerintah
4.        Setiap anak berhak mendapat pendidikan yang layak
5.        Setiap anak berhak memperoleh akses pendidikan yang ada dilingkungan sekitarnya.
Sedangkan landasan secara yuridis dan empiris mengacu pada :
1.        UUSPN No 20 Tahun 2003, Pasal 5 Ayat (1), (2)
(1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
(2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
2.        UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1),(2) dan (3)
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.
3.        Peraturan Pemerintah No 17 Tahun (2010), Tentang Pengelolaan dan Pelaksanaan Pendidikan
4.        Permen No 70 Tahun (2009), Tentang Pendidikan Inklusif
 (i) memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan hambatan sosial budaya atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; (ii) mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta. Hal itu sesuai dengan “Pernyataan Salamanca” dan “Kerangka Aksi Pendidikan Kebutuhan Khusus”, dalam pasal 7 bahwa: prinsip mendasar dari sekolah inklusif adalah, selama memungkinkan, semua anak seyogyanya belajar bersama-sama tanpa memandang kesulitan ataupun perbedaan yang ada pada diri mereka. Akan
tetapi sekolah inklusif harus memandang dan merespon kebutuhan yang berbeda-beda dari siswanya.” Hal ini semakin penting menempatkan siswa sebagai subyek dengan memperhatikan kebutuhan setiap anak yang berbeda (UNESCO 1999).

5.        Deklarasi Hak Asasi Manusia (1948)
6.        Konfeksi Hak Anak (1989)
7.        Konferensi Pendidikan untuk Semua Tahun (1990)
8.        Pernyataan Salamanca (1994) tentang pendidikan Inklusi Komitmen Dakar (2000) Mengenai pendidikan untuk Semua Deklarasi Bandung (2004) dan Rekomendasi Bukit Tinggi (2005) “Komitmen Pendidikan Inklusi”

C.  Kebijakan Pemerintah Dalam Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang diberikan kepada peserta didik yang memiliki kelainan, memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa serta anak tidak mampu belajar karena sesuatu hal seperti memiliki kekurangan (fisik), autis, keterbelakangan mental, anak gelandangan, memiliki bakat serta potensi lainnya. Tujuan pendidikan inklusif adalah memberikan intervensi bagi anak berkebutuhan khusus sedini mungkin. Tujuan lainnya dari pendidikan inklusi adalah sebagai berikut:
1.      Untuk meminimalkan keterbatasan kondisi pertumbuhan dan perkembangan anak dan untuk memaksimalkan kesempatan anak terlibat dalam aktivitas yang normal.
2.      Jika memungkinkan untuk mencengah terjadinya kondisi yang lebih parah dalam ketidak teraturan perkembangan sehingga menjadi anak yang tidak berkemampuan.
3.      Untuk mencengah berkembangnya keterbatasan kemampuan lainnya sebagai hasil yang diakibatkan oleh ketidakmampuan utamanya.
Pendidikan inklusi pada negara maju salah satunya adalah Amerika memiliki kebijakan tersendiri terkait pendidikan inklusi atau anak-anak yang memiliki hambatan, berdasarkan Smith (2009:41) undang-undang pendidikan individual Penyandang cacat (Individuals with Disabilities Education ACT-IDEA) PL 94-142 lebih jauh diamandemen pada tahun 1990 dengan pasal-pasal PL 101-476, yaitu :
1.      Mengubah judul undang-undang menjadi  Undang-undang pendidikan individu yang memiliki hambatan Individuals with Disabilities Education ACT-IDEA.
2.      Autisme dan traumatic brain injury dimasukkan sebagai 2 kelainan/ Disabilities
3.      Sekolah-sekolah diminta memberikan layanan pengajaran transisi yang dapat mendorong langkah sekolah keaktifitas pascasekolah, bagi siswa yang memiliki hambatan
4.      Tiap siswa yang mendapatkan IEP, dijamin akan mendapatkan layanan pendidikan transisi tidak lebih dari usia 16 tahun
5.      Layanan konseling rehabilitasi dan kerja sosial dimasukkan sebagai “layanan pembelajaran yang saling berkaitan” sehingga siswa mungkin layak dipilih dibawah undang-undang ini.
Indonesia sendiri telah memiliki kebijakan terkait dengan pendidikan inklusi yaitu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 32 dan Permendiknas nomor 70 tahun 2009 yaitu dengan memberikan peluang dan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan disekolah reguler mulai dari Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas/ Kejuruan, yaitu tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus
Pasal 32 :
(1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
(2) Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.




D.  Implementasi Pendidikan Inklusi di Indonesia
            Indonesia, pada dasarnya peraturan perundangan yang ada secara umum sudah sejalan dengan semangat yang direkomendasikan pada tingkat internasional, bahkan sejak Undang-Undang Dasar 1945. Peraturan perundangan lain di antaranya UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat, UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Hal ini menunjukkan bahwa adanya peran pemerintah dalam penyelenggaraannya sehingga tanggung jawab tidak semata-mata dibebankan pada sekolah penyelenggara, karena peraturan –peraturan dan kebijakan mewajibkan pemerintah kabupaten/kota menunjuk minimal satu SD dan SMP di tingkat kecamatan dan satu SMA di tingkat kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota juga wajib menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif serta tersedia sumber daya pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk, melalui peningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
Penyelenggaraan pendidikan iklusif melibatkan perubahan dan modifikasi, pendekatan, struktur dan strategi, dengan satu visi bersama yang meliputi semua anak yang berbeda pada rentangan usia yang sama dan satu keyakinan bahwa pendidikan inklusif adalah tanggung jawab pendidikan sistem regular yang mendidik semua peserta didik Konsep pendidikan inklusif sebagai penciptaan masyarakat pembelajar, dimana pembelajaran dirancang secara khusus dann merespon kebutuhan siswa, oleh karena itu keberhasilan penyelenggaraan pendidikan inklusif akan bergantung pada pekerjaan guru dan orang tua secara bersama-sama. Tidaklah mengejutkan bahwa kolaborasi antara guru dan orang tua menjadi suatu dimensi yang kursial, melaksanakan dan mengevaluasi pendidikan luar biasa serta layanan lainnya. Kolaborasi berhubungan dengan cara dimana para ahli berhubungan dengan yang lain dan orang tua, anggota keluarga seperti mereka bekerjasama dalam mendidik siswa dengan kelainan khusus.
Dengan demikian, guru dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif mesti memahami kebijakan dan layanan pendidikan yang diberikan kepada siswa. Selain itu memberdayakan masyarakat yang memiliki anak-anak berkebutuhan khusus sehingga keluarga mengetahui pola asuh yang tepat untuk mengoptimalkan prestasi anak-anak mereka.
Meskipun demikian, implementasi pendidikan inklusif di Indonesia dapat dikatakan belum optimal. Hal itu berkaitan dengan berbagai permasalahan seperti banyaknya anak berkebutuhan khusus yang belum mendapat hak pendidikan, sumber daya guru dan persoalan kurikulum serta persepsi masyarakat. Pelaksanaan pembelajaran dalam kelas inklusif sama dengan pelaksanaan pembelajaran di kelas reguler. Namun anak berkebutuhan  khusus memerlukan perlakuan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus diperlukan proses skrinning dan assement. Assement yang dimaksud adalah proses kegiatan untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan social melalui pengamatan yang sensitive.
 Seorang pendidik hendaknya mengetahui program pembelajaran yang sesuai dengan anak berkebutuhan khusus. Pola pembelajaranya harus disesuai dengan anak berkebutuhan khusus, biasa disebut dengan Individual Zet Educational Program (IEP) atau program pembelajaran individual (PPI), perbedaaan karakteristik yang dimiliki anak berkebutuhan khusus membuat pendidikan harus memiliki kemampuan khusus. Menurut delphie dalam Yusriani (36:2013) model pembelajaran anak berkebutuhan khusus adalah pengembangan lingkungan belajar secara terpadu. Pengembangan lingkungan secara terpadu dimaksudkan dengan lingkungan yang memiliki prinsip-prinsip umum dan prinsip-prinsip khusus. Prinsip umum pembelajaran adalah motivasi, konteks, keterarahan, hubungan social, belajar sambil bekerja, individualisasi, menemukan dan prinsip pemecahan masalah. Sedangkan prinsipprinsip khusus dalam pembelajaran adalah disesuaikan dengan karakter khusus setiap peserta didik, misalnya peserta didik dengan hambatan visual diperlukan prinsip-prinsip kekongkretan, pengalaman yang menyatu dan belajar sambil melakukan.

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai anak yang memiliki keterbatasan/kekurangan atau perbedaan dalam hal fisik, mental, dan emosional dengan anak seusianya, sehingga perlu mendapatkan penanganan atau pelayanan khusus terutama dalam hal pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan untuk melayani pendidikan pada anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan inklusi.
Pendidikan merupakan sistem layanan pendidikan yang diselenggarakan untuk memberikan kesempatan kepada semua peserta didik atau anak yang berkebutuhan khusus agar mendapatkan pelayanan pendidikan formal dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan teman-teman pada umumnya atau seusianya, sehingga mampu mendukung dan memenuhi kebutuhan khusus bagi setiap anak.
Pendidikan Inklusif di Indonesia telah melaksanakan pendidikan inklusi di sekolah serta memiliki landasan dan kebijakan terkait dengan perlindungan dan hak-hak untuk anak berkebutuhan khusus, meskipun dalam implementasinya masih belum optimal.
Landasan dan kebijakan untuk anak berkebutuhan khusus tersebut hendaknya dilaksanakandengan lebih baik lagi, sehingga berbagai permasalahan mengenai anak berkebutuhan khusus dapat terselesaikan dan yang paling penting adalah anak berkebutuhan khusus dapat terlayani sesuai dengan kebutuhananya.






Daftar Pustaka

Suparno. 2010. “Pendidikan Inklusif Untuk Anak Usia Dini” Jurnal Pendidikan Khusus. Hal (1-17) Vol.7. No.2. November 2010
Smith David J. 2006.  Inklusi, sekolah yang ramah untuk semua, terjemahan. Bandung: Penerbit Nuansa
Yusriani. 2013. “Kebijakan Pemerintah terhadap Pendidikan Inklusif”. Jurnal Media Akademika.  Hal (20-40) Vol. 28, No. 1, Januari 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah PERILAKU AGRESIF

SARANA DAN PRASARANA PADA KELEMBAGAAN TPA